DPR Hingga Ekonom UNUSIA: Lingkungan Harus Di Atas Kepentingan Ekonomi

 


SUARABERITAINDONESIA.COM

JAKARTA - Sorotan tajam terhadap praktik pertambangan di Raja Ampat akhirnya mendorong berbagai pihak, dari parlemen hingga akademisi, bersuara lantang untuk menempatkan kelestarian lingkungan di atas kepentingan ekonomi sesaat. Pemerintah baru saja mencabut izin empat perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah tersebut. Langkah ini dinilai sebagai bentuk koreksi terhadap kebijakan yang selama ini terlalu permisif terhadap eksploitasi sumber daya alam, tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang.

Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Sugeng Suparwoto mengingatkan pemerintah untuk tidak sekadar melihat aspek keuntungan ekonomi dari aktivitas pertambangan di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Menurut dia, pemerintah tetap harus memperhatikan aspek keamanan dan kelestarian lingkungan sebelum memberikan izin usaha pertambangan (IUP). “Kita butuh tambang, karena dari situ ada pendapatan negara, penyerapan tenaga kerja, dan kegiatan ekonomi lain, tapi jangan sampai mengorbankan lingkungan, yang justru akan merampas masa depan generasi mendatang,” ujar Sugeng, Selasa (10/6/2025). Politikus Nasdem itu meyakini bahwa keputusan pemerintah mencabut 4 IUP di kawasan Raja Ampat adalah langkah yang tepat.

Sorotan ini bukan tanpa alasan. Raja Ampat dikenal dunia sebagai surga biodiversitas laut, dengan kekayaan hayati yang tak tertandingi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tekanan dari investasi tambang nikel terus meningkat. Masuknya perusahaan tambang telah memicu kerusakan hutan, mencemari perairan, serta memicu konflik sosial dengan masyarakat adat yang sejak lama menjaga kesucian tanah leluhur mereka.

Muhammad Aras Prabowo, Ekonom Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), mengkritik keras kebijakan yang abai terhadap dimensi ekologis dan spiritual. “Apa yang terjadi di Raja Ampat adalah contoh tragis ketika kepentingan ekonomi jangka pendek menyingkirkan prinsip kehati-hatian ekologis dan nilai-nilai spiritual. Negara seperti kehilangan kompas moral dan ekologisnya,” ujarnya. 10/06/2025.

Menurut Aras, pendekatan pembangunan yang hanya bertumpu pada angka pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan adalah pendekatan yang ketinggalan zaman. “Raja Ampat bukan sekadar aset geografis, tetapi zona sakral ekologis. Ia bukan tempat untuk dieksploitasi, melainkan untuk dilindungi dan diwariskan kepada generasi mendatang,” lanjutnya.

Ia juga menyoroti bagaimana nilai-nilai adat dan spiritual masyarakat Papua terinjak oleh logika industri ekstraktif. “Dalam pandangan agama dan budaya manapun, merusak tanah suci demi keuntungan sesaat adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah ilahi dan tatanan kosmik. Ini bukan sekadar isu ekonomi, tapi juga moral,” tegas Aras.

Pemerintah memang telah mengambil langkah dengan mencabut izin empat perusahaan tambang, setelah polemik yang berkepanjangan dan tekanan dari publik serta aktivis lingkungan. Namun, langkah ini dianggap belum cukup. Berbagai kalangan mendesak agar Raja Ampat ditetapkan sebagai kawasan konservasi permanen yang tidak boleh disentuh oleh aktivitas tambang apa pun di masa depan.

“Jangan sampai kita mengulangi kesalahan masa lalu, di mana eksploitasi tambang meninggalkan kerusakan ekologis permanen yang tak bisa dipulihkan. Bila negara terus membiarkan kehancuran ini, maka Indonesia bukan sedang membangun masa depan, melainkan sedang menggali kubur ekologisnya sendiri,” tutur Aras.

Di tengah era perubahan iklim global yang semakin mengkhawatirkan, suara-suara seperti ini menjadi penting untuk mengoreksi arah pembangunan nasional. Ekonomi hijau, transisi energi berkelanjutan, dan pembangunan berbasis komunitas lokal menjadi solusi yang lebih relevan dibanding pertambangan yang rakus dan merusak.

Dukungan terhadap perlindungan Raja Ampat juga datang dari berbagai LSM lingkungan, pemuka agama, dan tokoh adat. Mereka menggelar kampanye #SaveRajaAmpat sebagai seruan moral dan ekologis agar pemerintah tidak lagi menjadikan wilayah sakral itu sebagai arena eksperimen kebijakan ekonomi.

Di akhir pernyataannya, Aras menyerukan agar negara hadir tidak hanya sebagai fasilitator investasi, tetapi sebagai pelindung nilai-nilai kehidupan yang luhur. “Jika ekonomi dibangun di atas reruntuhan ekologi dan peradaban adat, maka kita tidak sedang menuju kemajuan, tetapi justru sedang mempercepat kehancuran kolektif kita sebagai bangsa,” pungkasnya.

( Achmad Hidayat )

Posting Komentar untuk "DPR Hingga Ekonom UNUSIA: Lingkungan Harus Di Atas Kepentingan Ekonomi"