Dr. Aras Kupas Peta Teori Akuntansi Budaya di UNDIKSHA


SUARABERITAINDONESIA.COM

JAKARTA - Program Doktor Ilmu Akuntansi (PDIA) Universitas Pendidikan Ganesha menggelar Accounting Dialogue Series bertajuk “Construction of Teseng Value-Based Accountability” pada Sabtu, 11 Oktober 2025, pukul 10.00 WITA secara daring melalui Zoom. Kegiatan menghadirkan Dr. Muhammad Aras Prabowo, S.E., M.Ak. dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) sebagai pembicara utama dan terbuka untuk umum. Agenda ini dirancang sebagai ruang dialog lintas paradigma akuntansi dan berangkat dari kebutuhan mempertemukan disiplin akuntansi modern dengan horizon budaya Nusantara yang kaya dan relevan bagi konteks Indonesia kontemporer. 


Dalam paparannya, Dr. Aras menggarisbawahi “teseng” sebagai praktik akuntabilitas yang tertanam dalam budaya Bugis, menekankan siri’ (martabat), lempu (kejujuran), dan pacce (empati) sebagai basis pertanggungjawaban sosial, ekonomi, sekaligus spiritual. “Teseng berjalan lewat kepercayaan, musyawarah, dan kontrol komunitas—bukan semata kontrak formal—sehingga reputasi dan kehormatan menjadi mekanisme audit moral yang kuat. Ia menunjukkan bagaimana teseng bekerja pada sistem bagi hasil agraris, membentuk relasi pappatteseng–patteseng yang diwarnai solidaritas dan kewajiban etis, serta menghasilkan tata kelola berbasis mufakat yang menjaga kohesi sosial sekaligus keberlanjutan”, ungkap Dr. Aras 11/10/2025. 


Dr. Aras juga menyoroti ketegangan antara logika pasar yang menuntut efisiensi, performa, dan pelaporan formal, dengan logika budaya yang berpusat pada nilai, makna, dan legitimasi sosial. Menurutnya, kesenjangan teoritis-metodologis muncul karena akuntansi modern bertumpu pada teori agensi dan kontrol birokratis, sementara fenomena seperti teseng lebih tepat dipahami melalui pendekatan kualitatif-interpretif, termasuk fenomenologi Heideggerian dan rangkaian riset etnografis Spradley. Kerangka ini memungkinkan pembacaan yang lebih utuh atas akuntabilitas yang hidup, relasional, dan transendental di aras komunitas agraris. 


Pada level operasional, Dr. Aras memetakan kebaruan konseptual: culturalized accountability (menjadikan nilai sosial-spiritual sebagai basis akuntabilitas kolektif), transcendent accountability (tanggung jawab vertikal yang menumbuhkan kepatuhan internal), dan multilayered accountability (lapis transendental–interpersonal–komunal). Implikasi praktisnya meliputi audit sosial partisipatif, redistribusi hasil yang adil, desain insentif berbasis relasi, serta peluang digitalisasi “E-Teseng” untuk menjaga jejak naratif-oralitas tanpa menegasikan ruh kepercayaan komunitas. 


Dr. Aras turut menegaskan rancangan penelitian lapangan di Kabupaten Bone dengan pendekatan kualitatif, informan lintas peran (pappatteseng, patteseng, tokoh adat–agama, akademisi), dan cakupan ekosistem agraris yang beragam. Validitas dipastikan melalui triangulasi serta member checking, sementara teknik pengumpulan data menggabungkan observasi partisipatif, wawancara semi-terstruktur, dan dokumentasi berulang. Tujuannya mengungkap konstruksi nilai teseng dalam praktik akuntabilitas, termasuk perbandingannya dengan akuntabilitas modern, sekaligus merumuskan saran kebijakan berbasis komunitas. 


Dr. Aras juga memetakan jembatan modern–tradisional dan kebaruan akuntabilitas integratif-kolektif beserta pilar dan mekanismenya. Rujukan nilai siri, lempu, pacce ditegaskan secara konseptual dan praksis.


Koordinator Program Doktor Ilmu Akuntansi UNDIKSHA, Prof. Dr. Anantawikrama Tungga Atmadja, S.E., Ak., M.Si., menegaskan bahwa dialog ini diposisikan sebagai laboratorium gagasan untuk memetakan peta teori akuntansi budaya secara lebih sistematik. Ia mengelaborasi pentingnya ko-eksistensi: akuntansi tidak boleh kehilangan disiplin efisiensi, reliabilitas, dan pelaporan, tetapi harus memberi tempat bagi epistemic pluralism, keadilan kontekstual, serta legitimasi sosial yang tumbuh dari nilai lokal seperti siri’, lempu, dan pacce. Karena itu, PDIA mendorong kolaborasi lintas institusi—kampus, komunitas, dan pemerintah—untuk menguji model hibrid: pelaporan formal yang berdampingan dengan mekanisme akuntabilitas berbasis musyawarah, kontrol sosial, dan tanggung jawab spiritual. 


PDIA UNDIKSHA berharap seri dialog ini menjadi ekosistem belajar bersama yang menyambungkan ruang kelas, komunitas, dan pemangku kebijakan. Menggandeng akademisi UNUSIA, forum ini memantik diskusi kritis tentang peran budaya lokal dalam memperkuat sistem akuntabilitas yang humanis dan relevan bagi karakter masyarakat Indonesia—sekaligus menegaskan komitmen Undiksha pada wacana akademik progresif berakar nilai bangsa.

Posting Komentar untuk " Dr. Aras Kupas Peta Teori Akuntansi Budaya di UNDIKSHA"